IGK Manila
Dalam
usia hampir mencapai 78 tahun, Tuhan telah memberi saya kesempatan untuk
berkeliling hampir ke seluruh daerah di Indonesia, baik dalam rangka
menjalankan tugas pekerjaan maupun berwisata. Demikian pula, saya telah
mendatangi berbagai tempat di berbagai belahan di dunia, baik di Amerika,
Eropa, Australia dan apalagi Asia.
Di
daerah dan negara yang saya kunjungi, saya menyaksikan lembah, gunung, pantai,
panorama dan tempat pariwisata yang sangat indah dan menakjubkan. Bahkan di
beberapa tempat, saya bisa katakan kalau terdapat obyek-obyek yang tak kalah
menarik dari apa yang terdapat di Bali.
Saya
kemudian bertanya-tanya dalam hati, apakah kiranya yang menyebabkan orang-orang
dari seluruh dunia tetap ingin datang untuk berpariwisata ke Bali? Dalam
berbagai kesempatan, saya kemudian mencoba mencari dan menguji berbagai
jawaban.
Salah
satu jawaban yang saya temukan adalah perkara kebudayaan. Seumpama sebuah cawan
yang indah, keindahannya akan kurang bernyawa jika tanpa isi yang sesuai. Bali
adalah cawan yang indah. Tetapi, lebih dari itu, ia berisi minuman yang tak
hanya melepaskan dahaga tetapi membuat orang berhasrat untuk mereguknya
kembali.
Sebagai
orang Bali yang lahir dan bertumbuh di Bali, dan kemudian melanglang buana ke
mana-mana, budaya dan kebudayaan adalah hal utama yang ingin dinikmati orang di
Bali. Secara sederhana, budaya itu bisa berbentuk kegiatan adat, ritual,
pakaian atau hal-hal yang kasat mata lainnya. Tetapi lebih mendasar, budaya
terkait dengan manusia dan bagaimana manusia mewujudkan cipta, rasa dan
karsanya secara harmoni atau dialektis dengan alam.
Bali,
oleh karena itu adalah paket yang lebih lengkap. Alam Bali yang indah
bersatu-padu dengan budaya yang unik untuk memanjakan wisatawan dan membuat
mereka ingin tetap kembali ke Bali.
Dalam
kaitan dengan itu, dalam momentum Sumpah Pemuda di tengah dinamika politik yang
sempat memanas belakangan ini, saya melihat beberapa hal. Mudah-mudahan ini
akan menjadi pengingat bagi kita untuk merawat pariwisata di Bali.
Pertama, Bali adalah paramater demokrasi Indonesia.
Apa pasal? Pertama-tama kita harus mengakui soal toleransi beragama. Saat ini,
penduduk Bali adalah sekitar 4 juta jiwa lebih, dengan mayoritas (83,5%)
menganut agama Hindu. Pemeluk agama lainnya adalah Buddha (0,54%), Islam
(13,37%), Kristen Protestan (1,66%), Katolik (0.88%), Konghucu (0.01%), dan
Aliran Kepercayaan (0.01%).
Sebagai
warga mayoritas, pemeluk Hindu bisa saja bertindak semena-mena. Tetapi tidak
itu yang terjadi. Siapa pun yang hidup atau datang ke Bali bebas menjalankan
agamanya. Bagi umat Muslim, umpamanya, ada pilihan masjid atau mushalla di
berbagai gedung atau tempat wisata untuk beribadah. Demikian juga, di setiap
penjuru Bali ada makanan halal seperti yang dijual di rumah makan Padang.
Toleransi
adalah modal utama pariwisata Bali. Pertama-tama kita bisa bilang bahwa
toleransi menjamin kenyamanan dan keleluasaan. Dengan kata lain, toleransi
menjadi adalah prasyarat supaya para
wisatawan bisa menikmati waktu, alam dan kekayaan budaya Bali.
Tetapi,
lebih mendasar daripada itu, budaya toleransi di Bali adalah obyek wisata
tersendiri. Sebab makna pariwisata
adalah kegiatan menyegarkan pikiran, mencoba atau menemukan hal-hal baru,
bertemu orang-orang baru, atau berada dalam satu lingkungan atau suasana yang
baru. Dalam bahasa Inggris, itu pula sebabnya pariwisata disebut sebagai recreation, kegiatan memperbarui diri
dengan cara bersenang-senang.
Jika
kita renungkan lebih jauh, toleransi bukanlah sesuatu yang diada-adakan atau
sekadar kepura-puraan di Bali. Toleransi adalah budaya. Toleransi bertumbuh
dari interaksi rakyat Bali dengan harmoni
yang diajarkan alam dan dilembagakan dalam ajaran-ajaran agama. Selama orang
Bali berpegang teguh pada budaya ini, oleh karena itu, Bali akan tetap aman,
damai dan dicintai semua orang.
Kedua, dalam momentum Sumpah Pemuda ini, kita harus
mengingatkan diri bahwa Bali adalah tanah Indonesia. Di saat bersamaan, tidak
ada salahnya juga kalau kita berbangga jika banyak orang dari berbagai penjuru
dunia mengatakan Indonesia adalah Bali.
Adalah
rugi sekali, kemudian, jika ada yang terjebak dalam ego-sektoral Bali atau
kebalian. Sebab bersaudara dengan ratusan juta orang yang berasal dari ribuan
pulau dan budaya yang berbeda-beda adalah nikmat kekayaan yang tiada terkira.
Secara
pribadi, sebagai putra Bali yang lahir di Bali namun lebih lama hidup di luar
Bali, menjadi Indonesia telah membuat hidup saya kaya makna. Itu juga yang
terjadi, saya yakin, dengan putra-putri Bali yang hidup di Sumatera, Sulawesi,
Kalimantan dan pulau-pulau lainnya. Namun demikian, meskipun menjadi Indonesia,
nilai-nilai dan budaya Bali tetap menjadi bagian dari hidup saya sampai kini.
Sebagai
bagian dari tanah air Indonesia, kita boleh pula berbangga bahwa Bali
telah terus-menerus berkontribusi bagi
keberadaan dan kemajuan bangsa dan negara ini. Di zaman perjuangan merebut
kemerdekaan, kita tahu, pahlawan-pahlawan Bali memberikan andil yang besar. Di
zaman pasca-kemerdekaan, terutama ketika pariwisata menjadi salah satu sektor
utama penerimaan negara, Bali menjadi penyumbang devisa yang tidak kecil.
Ketiga, di samping toleransi dan perasaan
sebangsa-setanah air, hal berikutnya yang membuat kehidupan berlangsung dinamis
di Bali tentulah faktor Bahasa Indonesia. Meskipun bahasa Bali dipakai sebagai
bahasa sehari-hari oleh kebanyakan warga bersuku bangsa Bali, bahasa Indonesia menjadi
bahasa paling luas pemakaiannya di Bali.
Bahasa
Indonesia telah menjadi lingua franca,
bahasa penghubung yang memungkinkan ragam kegiatan sehari-hari berjalan lancar
di tengah berbagai perbedaan latar belakang. Demikian juga, Bahasa Indonesia
telah menjadi pintu masuk bagi orang-orang Bali untuk terhubung dengan dunia di
luar Bali, ilmu pengetahuan, dan orang-orang yang berasal dari budaya berbeda.
Terkait
dengan pencegahan konflik, Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa persatuan di
Bali. Bahasa yang paling mudah dan bisa digunakan oleh orang dari berbagai
latar belakang ini lebih memungkinkan tercapainya sudut pandang dan pemahaman
yang sama dalam komunikasi, sehingga konflik lebih mudah untuk dihindarkan.
Bahasa
Indonesia juga merupakan bahasa identitas, yakni sebagai salah satu alat untuk
mengidentifikasi diri sebagai “Indonesia”, sehingga setiap orang merasa berada
dlam satu kapal yang sama. Oleh karena itu, meskipun terdapat kebanggaan dalam
berbahasa Bali serta penggunaan Bahasa Inggris yang semakin luas dalam sektor
pariwisata, Bahasa Indonesia tetap wajib mendapat tempat.
Semoga
pariwisata Bali tetap berjaya!
*Gubernur
Akademi Bela Negara (ABN)