Irma Suryani: Pengusaha tidak Boleh Tempatkan Pekerja sebagai Beban
Jakarta, (04/11). Ditegaskan oleh Irma
Suryani, Anggota Komisi IX DPR RI, bahwa gelombang pemutusan hubungan kerja
(PHK) massal akan terus berulang, apabila komunikasi antara pengusaha dan
pekerja tidak terjalin secara efektif.
Dinilai oleh Irma, persoalan mendasar
dalam hubungan industrial adalah pola pikir sebagian pengusaha yang masih
memandang pekerja sebagai beban, bukan bagian dari biaya operasional yang
mendukung produktivitas perusahaan.
“Pengusaha tidak boleh menempatkan
pekerja sebagai beban, tetapi harus melihat gaji pekerja sebagai bagian dari
biaya operasional. Kalau pekerja dianggap beban, maka PHK akan selalu menjadi
pilihan pertama,” ujar
Irma di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
Selain faktor komunikasi, disoroti oleh Irma,
terkait kondisi ekonomi global yang saat ini belum seimbang, antara permintaan
dan penawaran (demand and supply).
Menurutnya, situasi tersebut turut
menyulitkan perusahaan, sehingga pemerintah perlu hadir memberikan stimulus
ekonomi. “Pemerintah harus memberikan stimulus kepada perusahaan agar mereka
tidak melakukan PHK atau merumahkan karyawan. Karena demand dan supply saat ini
memang belum seimbang,” jelasnya.
Ditambahkan oleh Legislator Partai
NasDem itu, Komisi IX DPR RI saat ini tengah melakukan inventarisasi data dan
menghimpun berbagai masukan dari para pemangku kepentingan sebagai bahan
penyusunan UU Ketenagakerjaan yang baru.
Salah satu fokus pembahasan adalah
perlindungan pekerja terhadap praktik PHK sepihak dan penyalahgunaan status
kepailitan. “Kami sedang mengumpulkan semua data dan masukan untuk
memperkuat regulasi. Nantinya akan diatur jelas soal kepailitan, PHK sepihak,
dan sistem outsourcing agar tidak lagi merugikan pekerja maupun perusahaan,”
terangnya.
Disoroti juga oleh Irma, mengenai kasus
PT SriTex yang hingga kini masih menyisakan persoalan pesangon karyawan. Ia
menilai, kasus tersebut menunjukkan lemahnya pengawasan bank dan pemerintah
terhadap kebijakan kredit dan manajemen perusahaan.
“SriTex ini tidak benar-benar pailit.
Mereka justru menunggak utang ke bank dalam jumlah besar. Asetnya hanya sekitar
Rp9 triliun, tapi pinjaman mencapai Rp29 triliun. Artinya ada penyalahgunaan
dana yang harus diusut,”
tegasnya.
“Bank juga harus diberi pelajaran.
Jangan memberikan pinjaman melebihi nilai aset. Kalau itu terjadi, berarti ada
kongkalikong antara bank dan perusahaan, dan keduanya harus dikenakan sanksi,” tambahnya.
Kementerian Ketenagakerjaan didesak juga
oleh Irma, untuk segera mengambil langkah konkret dan berkoordinasi dengan
manajemen SriTex, guna memastikan hak-hak pekerja terpenuhi.
“Tidak bisa menunggu kurator baru
pesangon dibayarkan. Para pekerja butuh uang untuk hidup. Kalau perusahaan
masih punya cabang lain, harus ada subsidi silang untuk menyelesaikan
pesangon,” ujarnya.
Lebih lanjut, dinilai oleh Irma
pemerintah juga perlu memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pengusaha
dan pekerja. Menurutnya, hubungan industrial yang sehat hanya dapat terwujud
jika ada prinsip mutualisme antara kedua belah pihak, dengan pemerintah sebagai
fasilitator.
“Kalau hanya berpihak pada pekerja,
pengusaha bisa tidak mampu bertahan. Tapi kalau hanya berpihak pada pengusaha,
pekerja yang dirugikan. Jadi harus ada keseimbangan, dan di situ peran
pemerintah sangat penting,”
pungkasnya. (JHL.848)